Senin, 22 Oktober 2012

Sistem Pendidikan Di Indonesia


Sistem Pendidikan Di Indonesia

Menurut Situs Wiki, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
John Dewey mewakili aliran filsafat pendidikan modern merumuskan Education is all one growing; it has no end beyond it self, pendidikan adalah segala sesuatu bersamaan dengan pertumbuhan, pendidikan sendiri tidak punya tujuan akhir di balik dirinya. Dalam proses pertumbuhan ini anak mengembangkan diri ketingkat yang makin sempurna atau life long Education, dalam artian pendidikan berlangsung selama hidup. Pendidikan merupakan gejala insani yang fundamental dalam kehidupan manusia untuk mengatarkan anak manusia kedunia peradaban. Juga merupakan bimbingan eksistensial manusiawi dan bimbingan otentik, supaya anak mengenali jati dirinya yang unik, mampu bertahan memiliki dan melanjutkan atau mengembangkan warisan sosial generasi terdahulu, untuk kemudian dibangun lewat akal budi dan pengalaman (Kartono, 1997:12).
Di Indonesia pendidikan formal seperti SD,SMP,SMA,Universitas memang membuat murid didiknya menjadi lebih pintar tetapi belum tentu menjadi lebih expert. Ini dikarenakan terlalu banyak pelajaran yang harus di pelajari tetapi pelajaran tersebut belum terfokus kepada minat dari siswa itu sendiri. Mengapa? Kita lihat saja kurikulum di SMP-SMA, untuk UAN nya dulu pernah hanya terfokus kepada 3 mata pelajaran. Pelajaran tersebut adalah matematika, bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Dan saat ini sudah menjadi 6 mata pelajaran di tambah mata pelajaran jurusan masing-masing.
Selain 6 mata pelajaran yang di ujikan berarti mata pelajaran tambahan tidak perlu di pelajari karena tidak terfokus. Realitanya bahwa mata pelajaran yang di terima lebih dari mata pelajaran yang di fokuskan. Ini membuat siswa menjadi berat untuk mempelajari semua mata pelajaran yang ada.
Kita lihat di perkuliahan, untuk lulus perkuliahan ada mata kuliah wajib dan mata kuliah pilihan, tetapi untuk setiap universitas, belum tentu ada kesamaan walau akreditasi sudah setingkat. Untuk mendapatkan gelar Sarjana di butuhkan kurang lebih sejumlah 152 SKS. Dan untuk skripsi boleh terfokuskan kedalam 1 mata kuliah. Yang jadi pertanyaan apakah mata kuliah pilihan itu sesuai dengan pilihan siswa atau malah dipilihkan??? Jika siswa sendiri yang memilih maka ia akan memilih sesuai dengan kemauannya dan tidak terbuang waktunya untuk belajar.
Kesalahan terbesar dari sistem pendidikan adalah buta dan tuli terhadap kenyataan dan suara konsumen. Teman Saya sebagai salah satu ‘korban’ pendidikan, sudah membuktikan bahwa dari begitu banyak tahun dan jam dihabiskan untuk belajar, pada akhirnya yang digunakan sangatlah rendah sekali persentasenya. Tidak sampai 10% padahal saya bekerja dibidang yang sesuai dengan sekolah saya. Bayangkan Insinyur sipil yang bekerja jadi marketing bank.
Saya ingat ketika belajar di SD, begitu banyak pelajaran yang dianggap dasar yang berusaha dijejalkan dikepala kita. Ingatan kita dipaksa untuk menghafalkan berbagai data2 yang kita sendiri pada saat itu tidak tahu gunanya untuk apa. Saat mengambil master, malah saya tidak perlu menghafal segala sesuatu karena text book hanyalah menjadi referensi saja. Kenapa pola belajar dan cara mencari tahu atau mencari ilmu dan menalar sesuatu, menganalisa sesuatu tidak diajarkan mulai SD? Mengapa justru SD doktrinasi begitu kencang?
Bahkan ketika melakukan research untuk level doctorate, tidak semenderita anak2 SD yang dipaksa2 menghafal ( karena tidak sesuai fungsi otak) hal2 yang pada akhirnya hanya akan diingat 1-2% saja. Anda tahu tidak kuis yang mengadu orang dewasa dengan anak kelas 5 SD itu adalah bukti nyata bahwa sistem pendidikan doktrinasi itu terlalu ineffisien dan ineffective.
Sekolah seharusnya mengajarkan kita logika, pola pikir bukan ilmu2 hafalan. Toh setelah tamat sekolah kita pasti sudah lupa semua atau lupa dalam waktu 3 hari setelah ujian selesai. Berapa perbandingan ilmu yang berguna dengan total ilmu yang kita pelajari? Banyak orang yang mendapatkan pekerjaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan jurusan mereka. Yang sekolah harus perhatikan justru bukan hasilnya tapi prosesnya karena kepribadian seorang anak itu dibentuk dari sekolah juga yaitu dari teman2nya, lingkungannya dan kegiatannya selama sekolah.
Selain jejali otak anak2 dengan ilmu yang di miliki guru-nya, ada baiknya kurikulum membuka lebar kesempatan dan ruang untuk membebaskan anak bangsa dari belenggu kurikulum hafalan menjadi kurikukulum pengembangan inisiatif dan bakat. Kalau bisa, kurikulum yang sifatnya tidak membagi anak2 didik menjadi (stigma) anak pintar dan anak bodoh, padahal tak ada manusia yang bodoh tapi yang ada hanya berbeda bakat.
Realita pendidikan di Indonesia saat ini menunjukkan adanya proses pembaharuan sistem secara berkelanjutan. Mulai dari standardisasi nilai Ujian Akhir Nasional hingga kebijakan penerapan otonomi kampus di Perguruan Tinggi dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Semua sistem yang hari ini berusaha diterapkan pada dunia pendidikan di Indonesia menimbulkan berbagai fenomena unik, mulai dari penolakan keras hingga kritik terhadap sistem tersebut.
Dr.dr.B.M Wara Kushartanti (pemerhati pendidikan.red), mengungkapkan bahwa  sistem pendidikan Indonesia tidak membuat siswa kreatif karena hanya terfokus pada proses logika, kata-kata, matematika, dan urutan dominan. Akibatnya perkembangan otak siswa tidak maksimal dan miskin ide baru. Pernyataan tersebut mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan proses pendidikan hari ini. Value Oriented yang dimaknai sebagai hasil akhir, bukan dari proses yang dilakukan, terkadang menjerumuskan paradigma pendidikan. Sehingga tak aneh ketika seorang sarjana dengan IPK Cum Laude  tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan di bangku perkuliahan. Orientasi pada nilai cenderung mengesampingkan proses kreatifitas yang justru dibutuhkan ketika “terjun” di masyarakat.
Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil. Konsep yang coba untuk dituangkan oleh Paulo Freire, seorang pemikir berkebangsaan Brazil adalah “proses pendidikan Sosial”. Dalam hal ini, sistem pendidikan menempatkan pelajar sebagai subjek bukan objek. Sedangkan realita sosial yang terjadi di sekitar dijadikan sebagai materi pembelajaran. Proses ini mengantarkan terwujudnya dialektika dan kesadaran kritis dari tiap individu.
Terkait dengan sistem pendidikan di Indonesia yang masih berorientasi pada nilai akhir, maka konsep “pendidikan kritis” oleh Paulo Freire ini dapat merubah paradigma pendidikan tersebut. Perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada nilai agaknya perlu diikuti dengan perubahan sistem yang lebih “humanis” dan berkeadilan karena mengingat kembali bahwa tujuan yang diemban negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berlandaskan pancasila. Pada akhirnya, pendidikan tak hanya dimaknai sekedar ajang mencari nilai bagus dan ijazah sebagai bentuk legitimasi. Namun lebih dari itu, pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan manusia dan membentuk manusia yang beradab dan berkontribusi bagi peradaban bangsa.
Rating: 4.3/10 (3 votes cast)
Rating: +2 (from 2 votes)
Popularity: 2% [?]